2020 dalam 4 babak (2/4)
Beberapa waktu lalu supervisor gue akhirnya nikah setelah sekian lama mencari cewe sana sini.
Kalo denger cara dia cerita & apa yang dia ceritain pasti bakal mikir kalo dia gak akan settle down dalam waktu dekat.
Waktu gue tanya alasannya apa, dia bilang gini:
"Kelamaan di rumah aja dengan situasi yang gak menentu gini bikin gue sadar kalo yang paling penting dalam hidup gue adalah keluarga, jadi gue putuskan untuk punya keluarga sendiri.
Selama ini gue kerja jalan sana sini, sibuk nongkrong dan lainnya ya itu jadi distraksi aja buat gue untuk mikirin apa yang paling penting dalam hidup ini."
Well.. that's wise.
Lambat laun gue jadi mulai berpikir dan berpikir apa yang paling signifikan dalam hidup gue dan apa yang gue mau.
Setelah sekian lama gak jalan sana sini, ngehabisin 98% waktu sama keluarga, dll, akhirnya gue came up dengan kesimpulan yang cukup out of character.
Beberapa waktu kemudian, setelah gue ngebuat orang di sekitar gue heran dan mungkin cukup terganggu, barulah gue sadar.
Jadi, alih alih nganggep kehidupan sebelumnya adalah distraksi, gue justru menganggap bahwa masa pandemi inilah yang menjadi distraksi.
Untuk waktu yang singkat gue lupa apa yang benar benar gue mau dari dulu dan mencoba untuk settle dengan hal yang gak pernah kepikiran sebelumnya.
Lalu gue berpikir: apakah ini aku? ataukah ini cuma aku yang unconsciously stressed out karena harus beradaptasi dengan kehidupan yang gak pernah terpikirkan sebelumnya?
Walaupun pada akhirnya gue kembali berpikir seperti sedia kala, gue tetep masih terbata bata tiap kali orang tanya tentang rencana hidup yang personal.
Ba bi bu ba bi bu, ngggggg so what am I gonna do?
Oh quarter life and all the things it put me through :)
Honestly, if being in quarter life crisis is like being set on fire,
experiencing it in this pandemic is like being given an extra gallon of gasoline poured all over your body.
Maybe.


Comments
Post a Comment