Tentang Closure dan Berdamai dengan Batasan
Ada satu hal yang gak pernah benar benar kembali ke titik semula saat sebuah hubungan harus berakhir.
Perasaan marah/sedih/kecewa yang dihiraukan tapi mungkin gak pernah benar benar diselesaikan.
Ya memang menghiraukan itu seringnya lebih mudah daripada menyelesaikan, kan?
Gak perlu susah payah melewati emotional roller coaster dengan pihak yang bersangkutan sampai akhirnya ketemu titik terangnya.
Gak perlu debat tentang apa yang jadi akar masalah, siapa yang salah, apa aja yang jadi salah, apalagi sampai nemuin gimana caranya biar semua pihak bisa puas dan berdamai dengan hidupnya masing masing.
Saya sendiri pun gak pernah mau kasih penjelasan apa apa.
Toh juga memang sudah selesai. Mau apa lagi?
Untuk saya sendiri, bisa dibilang saya bukan pemaaf yang handal.
Tiap kali ada konflik yang terlalu bikin kewalahan dan dengan segala pertimbangan memang berhenti adalah yang terbaik, secara otomatis saya segera nyari pintu keluar terdekat dan menjaga pintu silaturahmi tertutup selama yang saya bisa.
Strategi jangka pendek yang jitu kalau memang tujuannya nyari ketenangan pikiran.
Rasanya memang lega untuk keluar dari hubungan yang terasa gak sehat dan move on dengan kehidupan baru.
Baik itu hubungan pertemanan, romantis, ataupun hubungan profesional (kalo emang bisa).
Lalu setelahnya apa?
Saya selalu berpikir kalau tiap orang mesti butuh closure untuk akhirnya bisa berdamai dengan hidupnya.
Tapi gimana cara sampai bisa di titik itu ya sekiranya memang gak semua orang mau melewatinya.
Selalu aja ada batasan yang gak akan pernah bisa ditembus lagi.
Mau gimana lagi?
Mungkin itu apresiasi terbaik yang bisa kita lakukan setelah semua yang terjadi.
Gimanapun kita sudah pernah masuk begitu dalam dan akhirnya harus keluar dengan cara yang gak menyenangkan.
Seluas luasnya pintu maaf dan sedewasanya hati kita tapi batasan itu ya akan selalu ada.
Walaupun berbulan bulan atau bahkan tahunan sudah berlalu, ada emotional baggage dan perasaan marah/sedih/kecewa yang gak pernah pergi.
Rasa disalahi dan pertanyaan "kenapa? kenapa? kenapa?" yang gak pernah benar benar hilang dari kepala walaupun ya... gak selalu jadi bahan pikiran.
Setelah pertimbangan maju mundur maju mundur berkali kali, akhirnya beberapa waktu lalu saya beranikan diri untuk mendapatkan closure yang saya kira saya pantas terima.
Saya juga udah siapkan diri untuk menghadapi risiko terburuk: debat kusir dan memperkeruh suasana (yang dari awal aja emang udah gak baik, apalagi setelah 'Ribut 2.0' kan?).
But hey, I thought that was worth the shot. So let me just do it.
Rasanya? Awalnya ya canggung luar biasa.
Untuk kembali berhubungan dengan suasana dan orang yang dulunya pernah sangat familiar lalu menghilang untuk waktu yang lama seakan dia, perasaan, situasi itu gak pernah ada.
Tapi ya niat saya ya cuma satu: minta maaf.
Maaf karena sudah kabur tanpa ada penjelasan apa apa dan lebih pilih untuk misuh sendiri dibanding jadi dewasa.
Ya jujur aja, mau bagaimana juga semua pihak pasti punya andilnya sendiri kan?
Sedari awal pun saya gak punya ekspektasi untuk dia melakukan hal yang sama karena niatnya saya cuma mau menyelesaikan apa yang saya rasa gak pernah saya tuntaskan dan kemudian melanjutkan hidup seperti biasa.
Tapi anggap saja saya beruntung.
Setelah melewati emotional roller coaster lagi untuk beberapa waktu, saya akhirnya berhasil untuk sekali lagi menembus batasan itu dan menyelesaikan apa yang dari dulu gak pernah selesai.
Mendapat jawaban dari "kenapa? kenapa? kenapa?" yang gak pernah saya pahami sebelumnya.
Terlebih juga setelah sekian lama, akhirnya saya bisa ungkapkan apa yang selama ini selalu nyangkut di lidah dan gak juga bisa keluar mau gimana pun caranya.
Yah lagi lagi saya sadar kalau pada akhirnya semua orang memang gak harus jadi yang selamanya.
Beberapa memang hadir untuk sekedar menemani lalu memberi pelajaran.
Seburuk buruk akhirnya, toh kita juga pernah dibuat bahagia.
Nyatanya manusia gak pernah stagnan dan mungkin pada satu titik akhirnya kita sadar kalau mengambil jalan yang berbeda memang lebih baik.
Walaupun sekarang udah gak relevan lagi, tapi gimanapun juga toh dia pernah jadi yang terbaik pada masanya.
So hey... I thank you for taking this very maturely and of course for not invalidating my thoughts and feelings even just for a little.
And especially for being a dear friend for myself in the past.


Comments
Post a Comment